FENOMENA LUMPUR PANAS
PORONG –
SIDOARJO
Surabaya –
Porong (OBSERVASI)
Tim Lifeskills bersama kami
Mahasiswa PMMT mengadakan observasi di Lumpur Panas, Porong –
Sidoarjo. Observasi ini dilakukan oleh para dosen lifeskills
kepada kami para Mahasiswa untuk mengetahui kejadian-kejadian yang
terjadi di Nusantara (Sidoarjo). Untuk menambah pengetahuan, mengubah
cara berpikir, cara pandang kami mahasiswa PMMT. Perjalanan
kami menuju tempat tujuan, kami mengikuti komuter dari Stasiun Kereta
Api Gubeng – Surabaya, pada tanggal 27 Maret 2010 pukul, 09:05 WIB. Saya
merasa senang dan gembira dalam hati saya pada saat mengikuti komuter,
sebab sebelumnya saya belum pernah mengikuti Kerata Api di Papua. Kami
sampai/tiba di porong sekitar pukul: 10.45 WIB, dan kami langsung menuju
area lumpur panas. Pertama saya melihat fenomena lumpur panas atau
lapindo saya terharu dengan fenomena tersebut. Fenomena lumpur panas
terjadi pada tanggal, 29 Mei 2006. Akibat terjadi lumpur panas awal
mulanya dari pengeboran minyak oleh PT LAPINDO BRANTAS, dalam
proses pengeboran tersebut terjadi kesalahan. Ketinggihan lumpur panas
berkisar: 17-18 m dari tanah, suhunya berkisar: 80-900C ini
suhu tertingginya, dan ketinggihan tanggul: 16-18 m, jarak yang dapat
ditempuh atau dijangkau manusia ± 300 m, dan
lumpur panas tersebut mengandung Gas H2S Hidrokarbon, Metal,
dan Blerang. November 2007 terjadi ledakan
pipa pertamina, kejadian tersebut mengakibatkan 13 orang meninggal
dunia. Tempat kejadian tersebut memiliki 3 kecamatan seperti: 1 Porong =
5 desa, 2 Tabulangin = 2 desa, 3 Jabon = 2 desa. Semuanya
berlalu begitu saja, dan semuanya sekarang menjadi lautan lumpur
panas. Para warga yang berdomisili di wilaya tersebut ± 2000
jiwa kepala keluarga (JKK). Warga yang menjadi penggungsi mereka
diberikan uang dan tempat tinggal sementara dari PT LAPINDO BRANTAS dan
Pemerintahan Pusat yang diolah oleh Pemerintahan setempat (Sidoarjo).
Mereka mandapatkan uang untuk biaya hidup mereka sebesar: Rp 2.500,000,-
Pertahun, dan dalam 1(satu) hari Perkepala keluarga diberi uang makan
sebesar: Rp 10.000,000,- Perbulan: Rp 300.000,-. Sehingga
warga penggungsihan dapat bertahan hidup. Inilah hasil Observasi saya di
Porong bersama Teman-teman dan Tim dosen lifeskills. Setelah pulang
dari lapangan saya merasa terluka artinya turut berduka dengan fenomena
tersebut, karna saya dapat melihat secara langsung tempat kejadiannya. Saya menyukai proses pembelajaraan di lapangan seperti
observasi yang telah dilakukan di Porong.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar